Pluralisme, inilah yang menjadi keyakinan pentolan liberal Ulil
Abshar Abdalla. Sosok yang kini menjadi fungsionaris Partai berkuasa di
negeri ini dan paling getol membela Ahmadiyah ini mempunyai pandangan
yang sama sejalan dengan doktrin humanisme yang dijajakan oleh kelompok
Freemason. Dalam pidato kebudayaan menyambut Ulang Tahun JIL di Graha
Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta beberapa tahun lalu,
Ulil menyampaikan pidato bertajuk, “Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan
Sosial Keagamaan Kita Saat Ini.” Dalam pidato yang dihadiri oleh
kelompok lintas agama, bahkan penganut Ahmadiyah, Ulil mengatakan,
”Apakah kita bisa menerapkan apa yang selama ini dianggap sebagai
hukum Tuhan seraya mengabaikan konvensi-konvensi internasional yang
disepakati oleh bangsa-bangsa, misalnya konvensi tentang kebebasan
sipil? Apakah kita tetap bertahan dengan diktum dalam Quran bahwa
seorang suami boleh memukul istri (QS.4:34), sementara kita sekarang
memiliki hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga?….Apakah kita
masih harus mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak
diperbolehkan untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya
karena ada sebuah hadits yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa
hukum semacam itu harus dipertahankan? Apa ”rationale-nya”? Apakah
alasan yang mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan sampai
sekarang? Intinya: Apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan
secara diskriminatif masih tetap harus kita pertahankan semata-mata
karena hukum itu berasal dari Tuhan?”
Kemudian dalam situs www.islamlib.com, Ulil yang mempunyai syahwat
besar untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI) menulis artikel
berjudul ”Doktrin-doktrin yang Kurang Perlu dalam Islam.” Ulil menyebut
ada 11 doktrin dalam Islam yang kurang perlu dan bertentangan dengan
rasio, nilai-nilai kemanusiaan, dan pluralisme. Diantara doktrin yang
perlu dibuang jauh-jauh itu adalah,”Doktrin bahwa kesalehan ritual lebih
unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah lebih rajin
kerap dipandang lebih ”Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk
kemanusiaan, hanya karena mereka beribadah tidak secara rutin. Agama
bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdiaan kepada
kemanusiaan.”
Saat Perda Anti-Maksiat muncul di berbagai daerah di Indonesia, Ulil
berkoar-koar di media menyebut munculnya perda-perda itu sebagai sikap
”keberagamaan yang sungsang”. Perilaku ”sungsang” itu menurut Ulil,
karena perda yang dianggap kental dengan syariat Islam tersebut tidak
memartabatkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, Ulil menganggap
perda-perda itu sebagai bencana bagi kemanusiaan dan syariat Islam
adalah belenggu bagi martabat kemanusiaan. Jika ada pelacur, yang
ditangkap karena mengganggu kesusilaan, Ulil dkk mengganggap penangkapan
itu sebagai bagian dari perbuatan jahat melanggar martabat kemanusiaan.
Karena atas nama kemanusiaan, demi menghidupi keluarga, bagi Ulil dkk,
pelacur berhak mencari makan dengan cara apa saja, termasuk dengan cara
menjual tubuhnya. Karena, bagi Ulil dkk, pelacur juga manusia yang butuh
makan.
Jika hari ini kita melihat Ulil sebagai sosok yang gencar menyerang
pemahaman Islam yang mainstream, bahkan bersuara lantang untuk
membubarkan ormas Islam yang berjuang menjaga akidah umat, maka kita tak
perlu heran, karena memang bagi Ulil, nilai-nilai kemanusiaan lebih
”superior”, lebih tinggi, dibanding nilai-nilai agama. Munculnya beragam
ormas Islam yang berupaya menjaga akidahnya, bagi Ulil adalah gejala
kebangkitan fundamentalisme agama yang perlu diwaspadai, persis seperti
ungkapannya saat pidato di TIM pada 2010 lalu yang menyatakan, ”Kita
harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya
agama itu. Sebagaimana kita lihat selama ini, kebangkitan agama bukanlah
peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif.”
Sumber : http://kisahislami.com
0 komentar:
Post a Comment