Jakarta (SI Online) - Setelah kasus beredarnya daging oplosan yang dicampur dengan daging babi untuk dijadikan bakso beberapa waktu lalu di Samarinda, kali ini kasus tersebut dikhawatirkan muncul kembali. Namun oplosannya bukan daging babi melainkan daging tikus.
Harga daging sapi yang melambung tinggi menimbulkan potensi tindak
kriminal. Tindakan pelanggaran ini ialah mengganti daging sapi pada beberapa
produk dagang contohnya bakso dengan daging lain yang tidak layak seperti
daging tikus.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi
mengakui potensi penggunaan daging yang tidak layak konsumsi sebagai pengganti
daging sapi, memang sangat terbuka dengan kondisi harga daging yang sangat
mahal.
"Itu memang ada potensi penyimpangan seperti itu," tutur Tulus
seperti dilansir merdeka.com, Jakarta, Minggu (11/8).
Terbukanya potensi tindak kriminal tersebut, menurut Tulus, merupakan
tanggung jawab pemerintah dalam mengelola ketersediaan pangan nasional,
utamanya daging sapi.
Tulus menganggap bahwa harga daging sapi yang melambung tinggi merupakan
bukti kegagalan pemerintah dalam membongkar kartel daging. Kendati telah
mendatangkan daging sapi impor, harga daging sapi tetap saja meroket.
"Pemerintah tidak berhasil membongkar kartel daging. Walaupun sudah
ada impor tapi pedagang pasar tidak mau menerima daging impor. Pemerintah juga
harus melihat apakah ada permainan kartelisasi," tutur Tulus.
Tulus beranggapan bahwa kegiatan kartelisasi sulit dibongkar lantaran
terdapat pegawai instansi pemerintahan yang turut ambil bagian dalam kegiatan
tersebut.
"Pegawai pemerintah ikut terlibat dalam hal ini, baik (Kementerian)
pertanian maupun perdagangan, KPPU perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut
kalau perlu melibatkan KPK. Intinya pemerintah harus membongkar kartel
ini," tutup Tulus.
red: syaiful
0 komentar:
Post a Comment