Berikut kita bahas tentang selembar koran harian Tribun Timur(edisi
Jumat, 4 Juli 2008 M). Di bawah rubrik Tribun Opini terdapat sebuah
tulisan yang nampaknya cukup “ilmiah”. Hal itu terlihat dari judulnya
yang tertulis “Islam: Inovasi atau Stagnasi?”yang ditulis oleh Ismail Amin, seorang mahasiswa Mostafa Internasional University Islamic Republic of Iran. Selanjutnya kami sebut dengan “si Penulis”
Nampaknya ilmiah, namun ternyata tulisan ini memuat beberapa perkara
yang menunjukkan bahwa tulisan ini tidak ilmiah menurut tinjauan
syari’at, bahkan bersifat tendensial. Si Penulis dalam artikel itu
berusaha mengomentari kondisi kemunduran teknologi dan perekonomian kaum
muslimin yang dikaitkan dengan agama.
Tulisan ini mengingatkan kami dengan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Akan datang pada manusia tahun-tahun yang menipu; di dalamnya
pendusta dibenarkan, orang jujur didustakan; orang yang penipu
dipercaya, dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, serta ruwaibidhoh
ikut berbicara”. Ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh (orang
lemah)?” Beliau bersabda, “Dia adalah seorang hina (dungu) berkomentar
tentang urusan umum”. [HR. Ibnu Majah dalam Kitab Al-Fitan (4036).
Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah
(no.1887)]
Tulisan ini sengaja kami angkat & komentari sebagai contoh
sederhana bahwa seorang yang belajar kepada orang-orang Syi’ah-Rofidhoh
di Repulik Iran, akan mengalami perubahan dalam gaya bahasa dan berpikir
bebas, tanpa kontrol dalam mengeritik perkara yang sudah baku, dan tak
ada hak otoritas baginya dalam hal itu. Sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- pun berusaha dikritik. Pembaca akan melihat sepak terjangnya
dalam beberapa poin berikut:
* Tertipu dengan Kemajuan kaum kafir, dan Bersedih atas Kemunduran Kaum Muslimin dalam Perkara Keduniaan
Para pembaca yang budiman, si Penulis termasuk rangkaian para korban
yang tertipu dengan kemajuan kaum kafir –semisal USA- dalam teknologi
dan perekonomian, dan sebaliknya menyedihkan ketertinggalan dan
kemunduran kaum muslimin dalam hal itu. Dengarkan ia bersedih, “Ketertinggalan
bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu pengetahuan
tidak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah”. [Lihat
Tribun Timur (hal.4)]
Sebelumnya ia mengawali kesedihannya dengan menukil ucapan orang yang
sepemikiran dengannya, yaitu Nurcholis Madjid saat ia berkata, “Praktis
di semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam
adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi”.[Tribun (hal.4)]
Seorang yang menyinari dirinya dengan cahaya Al-Qur’an & Sunnah
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebenarnya tak perlu terlalu
menyedihkan hal itu. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang
kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara,
kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam; dan Jahannam itu adalah
tempat yang seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imraan: 196-197).
Kebebasan dan kemajuan orang-orang kafir dalam perdagangan dan
teknologi tidak perlu menyedihkan kita, karena mereka hanya
bersenang-senang dalam waktu pendek. Adapun orang-orang beriman mereka
akan mendapatkan kesenangan abadi. Kalian Cuma bisa berusaha di dunia,
Allah yang menentukan kemenangan [Lihat Taisir Al-Karim (hal. 162)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas diri
kalian. Tapi khawatirkan kalau dibukakan dunia bagi kalian sebagaimana
telah dibukakan bagi orang-orang (kafir) sebelum kalian, lalu mereka pun
berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba meraihnya;
(aku juga khawatirkan) kalau dunia itu akan membinasakan kalian
sebagaimana dunia telah membinasakan mereka”. [HR. Al-Buhkoriy dalam
Shohih-nya (3158, 4015 & 6425), dan Muslim (2961)]
Yang perlu disedihkan adalah terjadinya kemunduran beragama . Kalian
akan melihat kemunduran beragama ini dengan merebaknya kesyirikan
dimana-mana, bid’ah, maksiat, dan kekafiran sebagaimana yang terlihat di
negeri kita, bahkan di negeri yang dikagumi oleh si Penulis, yaitu
Iran. Di Iran –khususnya bulan Muharram- banyak terjadi kesyirikan,
bid’ah, maksiat, kekafiran dan pelanggaran agama ketika memperingati
hari kematian Husain.
Di hari itu mereka (Syi’ah-Rofidhoh) di Karbala’ ( Irak) berpesta
pora sambil menzalimi diri mereka dengan melukai kepala mereka sebagai
ungkapan belasungkawa atas penderitaan Husain saat ia dibunuh menurut
sangkaan mereka yang batil. Di hari itu mereka melakukan acara ritual
yang aneh dengan meletakkan dahi mereka dan bersujud di tanah sambil
merangkak, menuju pusara Husain yang mereka pertuhankan. Belum lagi
kebencian mereka yang amat ekstrim kepada para pejuang Islam, yakni para
sahabat, seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Abu Hurairah, A’isyah dan
lainnya -radhiyallahu ‘anhum- .
* Pesantren Dianggap sebagai Tempat Pembelengguan Akal
Di mata si Penulis, pesantren dianggap tempat pembelengguan akal. Ini nampak dalam ucapannya, “Kebanyakan lembaga pendidikan Islam (baca: pesantren) justru menjadi tempat pembelengguan potensi kreatif anak didik yang paling efektif”. [Tribun hal.4]
Di mata si Penulis, pesantren dianggap tempat pembelengguan akal. Ini nampak dalam ucapannya, “Kebanyakan lembaga pendidikan Islam (baca: pesantren) justru menjadi tempat pembelengguan potensi kreatif anak didik yang paling efektif”. [Tribun hal.4]
Pesantren merupakan pusat pendidikan Islam dari dulu sampai kini yang
menciptakan banyak kader ulama, bukan tempat pembelengguan akal. Jika
sebagian pesantren memusatkan perhatiannya dengan masalah agama sehingga
mereka minim pengetahuan umumnya, maka ini bukanlah suatu celaan bagi
pesantren.
Sama halnya, jika ada lembaga pendidikan umum yang memusatkan
perhatiannya dengan ilmu pengetahuan umum sehingga lebih minim ilmu
agamanya, maka ini juga bukanlah celaan baginya. Masing-masing lembaga
mengembangkan kemampuannya dalam membangun Islam. Perlu diketahui oleh
si Penulis, pesantren kini juga telah mengembangkan sayapnya dalam ilmu
pengetahuan umum. Lalu mengapa si Penulis menyudutkan pesantren? Apakah
si Penulis menginginkan kita semua sibuk dengan ilmu dunia sehingga kita
meninggalkan ilmu agama dan semua jahil? Ataukah sekedar cari jalan
mencela Islam & ulama agar ia naik pamor?! Wallahu a’lam.
Sebenarnya yang perlu disalahkan (baca: dikritik) oleh si Penulis
jika umat Islam terbelakang dalam teknologi adalah para inteketual dan
cendekiawan yang berkiprah di ilmu pengetahuan umum. Jangan malah
pesantren dikambinghitamkan sehingga pada gilirannya memberikan opini
bahwa Islam tidak relevan , statis, dan tidak menerima perkembangan
teknologi yang membangun Islam. Jika ada yang memusatkan diri belajar
agama, maka tak ada salahnya agar kaum muslimin juga kuat dalam segi
agama. Sebab kejayaan itu ada pada kekuatan pemeluknya berpegang teguh
dengan agamanya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegang ekor-ekor sapi
(sibuk ternak), ridho dengan bercocok tanam (sibuk tani), dan kalian
meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas diri
kalian; tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama
kalian”. [HR. Abu Dawud dalam Kitabul Ijaroh (3462). Hadits ini
di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]
Dengan kembali kepada agama-Nya, maka Allah akan bukakan bagi mereka
pintu-pintu kebaikan dan berkah duniawi dan ukhrawi, seperti yang
dialami oleh negeri Saudi Arabia.
* Berburuk Sangka kepada Ulama & Tidak Menghargai Jasa Para Ulama
Kebiasaan orang Syi’ah-Rofidhoh dalam mencela ulama, ini diadopsi dan diserap oleh si Penulis. Lihat saja ia merendahkan ulama dan menutup mata dari jasa baik mereka saat si Penulis berkata, “Selain itu, apapun dari ustadz dan ulama selalu dianggap benar tanpa studi kritis yang berarti. Islam yang kita kenal dari mereka tidak lebih dari deretan aturan hitam putih”.[Lihat Tribun (hal.4)]
Kebiasaan orang Syi’ah-Rofidhoh dalam mencela ulama, ini diadopsi dan diserap oleh si Penulis. Lihat saja ia merendahkan ulama dan menutup mata dari jasa baik mereka saat si Penulis berkata, “Selain itu, apapun dari ustadz dan ulama selalu dianggap benar tanpa studi kritis yang berarti. Islam yang kita kenal dari mereka tidak lebih dari deretan aturan hitam putih”.[Lihat Tribun (hal.4)]
Apa yang dinyatakan oleh si Penulis tidak bisa dibenarkan secara
mutlak. Sebab kaum muslimin paham bahwa para ulama bukan nabi dan rasul
sehingga harus taqlid sepenuhnya. Kaum muslimin paham bahwa seorang
ulama hanyalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah Islam, namun
mereka tak maksum (tak bersih dari dosa dan kesalahan). Mereka manusia
biasa seperti kita, bisa jadi benar atau salah. Jika ia benar karena
mengikuti Sunnah, maka kita wajib mengikutinya. Sebaliknya, jika mereka
keliru karena menyelisihi sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
maka kita tinggalkan ucapan ulama tersebut, dengan tetap memuliakannya
sesuai posisinya, tanpa ekstrim dalam mendudukkan mereka seperti nabi
atau tuhan !! Al-Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Setiap orang boleh
diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali
penghuni kubur ini (yakni Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-)”. [Lihat
Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih (2/91)oleh Ibnu Abdil Barr]
Jadi, para ulama adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah
Islam, didudukkan pada tempatnya, tanpa mengkultuskannya, dan tidak pula
merendahkan dan menghinakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sedang para nabi
tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Tapi mereka hanya mewariskan ilmu
(agama). Jadi, barang siapa yang mengambilnya, maka sungguh ia telah
mengambil bagian yang banyak”. [HR. Al-Bukhoriy secara mu’allaq dalam
Kitabul Ilmi (1/37), Abu Dawud dalam Kitab Al-Ilmi (3641), At-Tirmidziy
dalam Kitabul Ilmi (2682), dan Ibnu Majah (223). Lihat Shohih Al-Jami’
(6297)]
Si Penulis bukan Cuma ulama masa kini yang direndahkan, bahkan
sahabat dan murid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yaitu sahabat
Abu Hurairah. Tak heran jika si Penulis melakukan hal itu, sebab para
pendahulu mereka dan guru mereka di Iran yang beragama Syi’ah-Rofidhoh,
amat besar kebenciannya kepada para sahabat, utamanya Abu Hurairah,
karena beliaulah yang banyak meriwayatkan hadits yang berisi ajaran
Islam. Mereka mencela Abu Hurairah agar dapat menjauhkan kaum muslimin
dari Islam.
Dengarkan si Penulis merendahkan sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-,“Maksimalisme
agama pada dasarnya hanya menempatkan otak hanya sebagai isi kepala
tanpa peran berarti… Maksimalisme agama hanya akan menyeret manusia
zaman Bill Gates ini ke zaman Abu Hurairah”. [Lihat Tribun (hal.4)]
Ini merupakan pelecehan kepada sahabat Abu Hurairah, sebab ucapan ini menjelaskan bahwa Abu Hurairah termasuk orang yang terpasung otaknya, hanya membebek buta kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan ini merupakan pelecehan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebab menuduh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memasung otak dan akal para sahabatnya, tanpa dibiarkan berpikir. Sungguh ini adalah ucapan kufur yang bisa membuat seorang murtad, sebab mengolok-olok Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ini merupakan pelecehan kepada sahabat Abu Hurairah, sebab ucapan ini menjelaskan bahwa Abu Hurairah termasuk orang yang terpasung otaknya, hanya membebek buta kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan ini merupakan pelecehan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebab menuduh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memasung otak dan akal para sahabatnya, tanpa dibiarkan berpikir. Sungguh ini adalah ucapan kufur yang bisa membuat seorang murtad, sebab mengolok-olok Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (QS. At-Taubah:
65-66).
Syaikh Ibnu Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata ketika
menafsirkan ayat ini, “Sesungguhnya mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya,
dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan orang dari agamanya,
karena prinsip agama ini terbangun di atas pengagungan kepada Allah,
agama, dan Rasul-Nya. Sedangkan mengolok sesuatu di antara perkara itu
adalah merobohkan prinsip ini, dan menentangnya dengan
sekeras-kerasnya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 343)]
Demikian pula mengolok-olok sahabat, apalagi sampai merendahkan dan
mencelanya, bahkan sampai mengkafirkannya. Perbuatan seperti hanyalah
dilakukan kaum zindiq (munafiq). Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat,
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara
kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu
mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya”.
[HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim (2541)].
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Rozy -rahimahullah- berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ketahui bahwa orang itu zindiq. Karena Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di sisi kami benar, dan Al-Qur’an adalah kebenaran. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur’an ini kepada kami adalah para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka (para pencela tersebut) hanyalah berkeinginan untuk menjatuhkan saksi-saksi kami agar mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindiq”. [Lihat Al-Kifayah, (hal. 49)]
Terakhir, kami nasihatkan melalui ucapan Al-Hafizh Ibnu Asakir
-rahimahullah-, “Ketahuilah bahwa daging para ulama -rahmatullah alaih-
adalah beracun. Diantara sunnnatullah dalam menyingkap aib orang yang
merendahkan mereka adalah telah dimaklumi, karena mencela mereka dengan
sesuatu yang tak ada pada mereka adalah perkaranya besar”. [Lihat
Tabyiin Kadzib Al-Muftari (hal. 29)]
Mudah-mudahan torehan pena ini menjadi nasihat bagi si Penulis dan
orang-orang yang tertipu dengan agama Syi’ah-Rofidhoh. Kami berharap
kepada Allah Yang Maha Pemurah lagi Penyayang agar kami dimatikan di
atas Islam yang dibawa oleh para sahabat.
Sumber :
http://almakassari.com
0 komentar:
Post a Comment