Hampir setiap memasuki bulan Desember
ramai seruan-seruan toleransi umat beragama, khususnya toleransi umat
Islam terhadap orang Nasrani. Nuansa Natal terasa di mana-mana
Mal-mal, berbagai pusat pembelanjaan, toko-toko dan kantor-kantor
ramai dihiasi aksesoris Natal seperti pohon cemara berikut lampu
warna-warni yang identik dengan Natal. Para pelayan toko dan mal
ramai-ramai disuruh memakai baju sinterklas atau atribut yang identik
dengan semarak Natal.
Tak lupa acara Perayaan Natal Bersama (PNB) digelar di berbagai
kantor dan instansi. Para karyawan dan pegawai yang mayoritasnya adalah
Muslim pun didorong untuk ikut berpartisipasi. Salah satu alasannya
bahwa itu adalah wujud toleransi.
Toleransi Diperalat
Toleransi saat ini bisa dikatakan diperalat. Pasalnya, di balik
seruan untuk berpartisipasi dalam semarak perayaan hari raya umat agama
lain, khususnya perayaan Natal, sangat terasa banyak motif di
belakangnya. Selain motif ekonomi untuk meraup untung, ada pula motif
politik. Kaum Kristen ingin “unjuk gigi” dan mungkin dominasi mereka di
negeri Muslim.
Mereka mengadakan acara Natal bersama secara besar-besaran dengan
mengundang penguasa dan para pejabat untuk menghadiri perayaan tersebut.
Mereka tak peduli dengan agama yang dianut penguasa atau para pejabat
itu.
Natal juga dijadikan momentum penting menanamkan ide sinkretisme dan
pluralisme. Melalui upaya ini, akidah umat Islam secara pelan-pelan
terus tergerus. Ide pluralisme ini mengajarkan bahwa semua agama sama.
Ajaran ini mengajak umat Islam untuk menganggap agama lain juga benar.
Khusus dalam konteks Natal, itu berarti umat Muslim didorong untuk
menerima kebenaran ajaran Kristen, termasuk menerima paham trinitas dan
ketuhanan Yesus.
Jika ide pluralisme itu berhasil ditanamkan di tubuh umat Islam,
hal-hal yang selama ini sensitif terkait masalah agama seperti
pemurtadan, nikah beda agama dan sebagainya akan makin mulus berjalan.
Lebih jauh, semangat umat Islam untuk memperjuangkan syariah agar
dijadikan aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat akan makin melemah.
Di dalamnya juga ada propaganda sinkretisme, yakni pencampuradukan
ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal
yang bertentangan. Dalam konteks Natal Bersama dan Tahun Baru,
sinkretisme tampak dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun
baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan
iman dan kafir, juga batasan halal dan haram, sudah sangat jelas.
Toleran yang Kebablasan
Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada (Kamus Al-Munawir,
hlm. 702, Pustaka Progresif, cet. 14). Toleransi tidak berarti seorang
harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut (Ajad Sudrajat
dkk, Din Al-Islam. UNY Press. 2009).
Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Muncullah sikap
toleran yang kebablasan, khususnya pada sebagian Muslim. Sikap toleran
yang kebablasan itu didorong agar dilakukan oleh seluruh Muslim negeri
ini.
Diserukanlah bahwa sikap bertoleransi itu harus diwujudkan dengan memberikan selamat—bahkan menghadiri—hari raya non-Muslim.
Yang lebih parah, baru dianggap toleran jika Muslim melepaskan
keyakinannya yang tidak sesuai dengan keyakinan orang lain. Misalnya,
keyakinan bahwa wanita Muslimah haram menikah dengan pria non-Muslim.
Mempertahankan keyakinan demikian dianggap tidak toleran.
Alhasil, toleransi saat ini digunakan sebagai senjata oleh kalangan
liberal dan non-Muslim untuk menyasar Islam dan umatnya. Sedikit-sedikit
mereka menyebut kaum Muslim tak toleran jika ada masalah yang
menyangkut komunitas non Muslim—meski tak jarang sebenarnya itu
menyangkut aturan negara.
Padahal banyak tokoh menyebut, tidak ada negara di dunia saat ini
yang paling toleran dibandingkan Indonesia. Kaum minoritas non-Muslim di
negeri ini seolah mendapat surga.
Begitu tolerannya Muslim di Indonesia, orang-orang non-Muslim pun
bisa menduduki jabatan politik yang penting seperti panglima TNI,
menteri-menteri kunci, gubernur, bupati/walikota, dsb. Ini tidak terjadi
di Amerika dan Eropa yang katanya kampiun demokrasi.
Di sana posisi penting hanya untuk kalangan mayoritas—Kristen. Di
Indonesia, semua agama besar ada libur nasionalnya untuk perayaan hari
raya, termasuk untuk hari raya minoritas. Lalu adakah libur nasional
bagi Muslim selama Idul Fitri dan Idul Adha di Barat? Tidak ada.
Pembangunan gereja di negeri ini pun marak. Malah menurut Kementerian
Agama, pertumbuhan gereja setiap tahunnya mencapai 190 persen,
sementara pertumbuhan masjid hanya 60 persen.
Jumlah gereja sudah mencapai 135 ribu, sementara masjid dan mushala
hanya 600 ribu. Padahal jumlah umat Islam mencapai 88 persen atau 210
juta orang dari 240 juta penduduk Indonesia.
Jangan Salah-Kaprah!
Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Toleransi itu membiarkan
umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya.
Toleransi itu tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam.
Adapun dalam konteks muamalah, Rasul saw. berjual-beli dengan
non-Muslim secara adil dan fair. Rasul juga menjenguk non-Muslim
tetangga beliau yang sedang sakit. Rasul juga bersikap dan berbuat baik
kepada non-Muslim.
Toleransi semacam ini telah memberikan contoh bagi masyarakat lain.
Bahkan toleransi Islam tetap terasa hingga masa akhir Khilafah
Utsmaniyah. TW Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, menyatakan:
“Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman
(Khilafah Turki Utsmani)—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan
Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya
tidak dikenal di daratan Eropa…”
Namun, toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan
yang bertentangan dengan Islam. Imam asy-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadîr menyatakan:
Abd ibn Humaid, Ibn al-Mundzir dan Ibn Mardawaih telah mengeluarkan
riwayat dari Ibn ‘Abbas bahwa orang Quraisy pernah berkata kepada Rasul
saw., “Andai engkau menerima tuhan-tuhan kami, niscaya kami menyembah
tuhanmu.” Menjawab itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, yakni surat
al-Kafirun, hingga ayat terakhir:
… لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ[
… untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku” (TQS al-Kafirun [109]: 6)
Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan ath-Thabrani juga mengeluarkan riwayat
dari Ibn ‘Abbas, bahwa orang Quraisy pernah menyeru Rasul saw. seraya
menawarkan tahta, harta dan wanita. Tujuannya agar Rasul berhenti
menyebutkan tuhan-tuhan mereka dengan keburukan.
Mereka juga menawarkan diri untuk menyembah Tuhan Muhammad asal
berikutnya Rasul gantian menyembah tuhan mereka. Sebagai jawabannya,
Allah SWT menurunkan surat al-Kafirun itu.
Dari sini jelas, umat Islam haram terlibat dalam peribadatan pemeluk
agama lain. Umat Islam juga haram merayakan hari raya agama lain,
bagaimanapun bentuknya, karena hal itu termasuk bagian dari aktivitas
keagamaan dan dekat dengan peribadatan.
Kalaupun memakai atribut Natal dianggap bukan bagian dari
peribadatan, yang jelas atribut itu adalah identik dengan Natal. Itu
identik dengan orang Nasrani. Memakai atribut Natal berarti menyerupai
mereka. Padahal Rasul saw. melarang tindakan demikian.
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka".
(HR Abu Dawud dan Ahmad).
Imam ash-Shan’ani menjelaskan, “Hadis ini adalah dalil yang
menunjukkan bahwa siapa pun yang menyerupai orang kafir, pada apa saja
yang menjadi kekhususan mereka—baik pakaian, kendaraan maupun
penampilan—maka dia termasuk golongan mereka.”
Berpartisipasi dalam perayaan hari raya agama lain juga jelas terlarang berdasarkan nas al-Quran. Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا[
Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan jika
mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berfaedah, mereka lewat (begitu saja) dengan menjaga
kehormatan diri mereka (QS al-Furqan [25]: 72).
Az-Zûr itu meliputi semua bentuk kebatilan. Yang terbesar
adalah syirik dan mengagungkan sekutu Allah. Karena itu Imam Ibn
Katsir—mengutip Abu al-‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin,
adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas dan lainnya—menyatakan bahwa az-zûra adalah hari raya kaum musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, III/1346).
Menurut Imam asy-Syaukani, kata lâ yasyhadûna, dalam pandangan jumhur ulama, bermakna lâ yahdhurûna az-zûra, yakni tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, IV/89).
Menurut Imam al-Qurthubi, yasyhadûna az-zûra ini adalah menghadiri serta menyaksikan kebohongan dan kebatilan.
Ibn ‘Abbas, menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya orang-orang musyrik, termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.
Kaum Muslim pun dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan hari raya agama lain. Allah SWT berfirman:
﴿إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara keji (maksiat) itu
tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, mereka berhak mendapatkan azab
yang pedih di dunia dan akhirat (TQS an-Nur [24]: 19).
Menyebarkan perbuatan keji (fakhisyah)juga mencakup semua
bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan, meramaikan dan menyiarkan perayaan
Natal sama saja ikut terlinbat dalam penyebarlusaan kekufuran dan
kesyirikan yang diharamkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan:
“Sebagaimana kaum musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar
mereka, tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka
melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut
kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, I/235).
Wahai Kaum Muslim:
Tak layak umat Islam terjebak dalam perangkap seruan toleransi yang
diperalat sehingga justru terlibat dalam hal-hal yang tidak dibenarkan
oleh Islam.
Semestinya umat Islam fokus pada agenda utama mereka untuk mewujudkan
kehidupan islami melalui penerapan syariah Islam secara total di bawah
naungan sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. abimantrono anwar.
[Al-Islam edisi 735, 26 Shafar 1436 H – 19 Desember 2014 M]
Sumber : http://m.voa-islam.com/
0 komentar:
Post a Comment